![]() |
Foto: Andri Saputra Lubis, M.Psi. |
Oleh: Andri Saputra Lubis, M.Psi
OPINI - Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial sudah lebih dari sekadar ruang interaksi pelengkap, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sebagian besar masyarakat modern bangun tidur dengan menatap layar, bersantai dengan menggulir konten, dan mengakhiri malam dengan memeriksa aliran notifikasi yang seakan tak berujung. Di balik aliran informasi yang tampak acak dan tak terduga ini, terdapat sebuah sistem yang mengatur pola konsumsi kita: Algoritma, yaitu sekumpulan instruksi berbasis matematika dan logika pemrograman yang berfungsi menganalisis pola perilaku pengguna, memprediksi minat mereka, lalu menyajikan konten yang dianggap paling relevan, dan mampu mempertahankan perhatian agar seseorang terus berinteraksi lebih lama di dalam platform.
Algoritma media sosial kini bekerja tak kasatmata namun mengendalikan hampir seluruh pengalaman digital kita. Instagram, TikTok, Facebook, YouTube, hingga Twitter atau X menggunakan sistem rekomendasi yang mempelajari pola interaksi pengguna, apa yang ditonton, disukai, dan berapa lama kita menatap layar, untuk menyajikan konten yang paling memicu rasa penasaran atau emosi.
Konten yang memancing tawa, kemarahan, atau rasa iri sengaja diutamakan karena terbukti membuat pengguna bertahan lebih lama. Akibatnya, algoritma bukan hanya menampilkan informasi, tetapi perlahan membentuk cara kita berpikir, mempengaruhi suasana hati, dan tanpa kita sadari menggeser persepsi kita tentang dunia.
Jika dilihat melalui kacamata psikologi kontemporer, algoritma dirancang untuk memanfaatkan mekanisme dasar pembentukan kebiasaan. Proses ini mirip dengan pola permainan mesin slot, di mana hadiah diberikan secara tak terduga, mendorong pengguna untuk terus kembali. Inilah yang dikenal dalam psikologi perilaku sebagai jadwal hadiah variabel (variable reward schedule), bentuk penguatan yang tak terduga namun sangat efektif untuk merangsang rasa ingin tahu. Setiap kali kita menerima suka, komentar, atau notifikasi, otak melepaskan dopamin, yang menciptakan rasa puas sesaat. Perasaan ini cepat memudar, tetapi menciptakan dorongan kuat untuk mengulangi pengalaman tersebut. Inilah sebabnya mengapa orang tanpa sadar menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggulir TikTok, Instagram, Facebook atau media sosial lainnya.
Efek algoritma melampaui kecenderungan adiktif. Algoritma juga mengubah cara kita memproses informasi dan memfokuskan perhatian. Kemunculan konten singkat yang terus-menerus di linimasa kita, melatih otak untuk hanya mengonsumsi informasi yang dangkal, sehingga mengurangi kemampuan kita untuk berfokus pada materi yang lebih mendalam.
Lebih lanjut, algoritma sengaja memprioritaskan konten yang memancing emosi, baik kemarahan, ketakutan, maupun iri hati, karena konten semacam itu terbukti lebih efektif dalam meningkatkan keterlibatan pengguna. Tak heran jika media sosial terasa penuh drama, konflik, dan perbandingan sosial (social comparison) yang melelahkan. Penelitian psikologi sosial menemukan bahwa fenomena ini terkait dengan meningkatnya kecemasan, ketidakpuasan hidup, bahkan depresi, terutama di kalangan generasi muda yang merasa dirinya masih rapuh.
Namun, psikologi Islam memandang masalah ini dari perspektif yang lebih dalam. JIka psikologi Barat menyoroti kerusakan pada fungsi kognitif dan emosional, psikologi Islam menekankan dampaknya pada jiwa (nafs) dan hati (qalb). Algoritma media sosial yang terus mengalirkan hiburan tanpa henti pada dasarnya adalah wujud ghaflah, yakni kelalaian yang membuat manusia lupa akan kehadiran dan pengawasan Allah. Dalam perspektif psikologi Islam, ghaflah bukan sekadar lupa sesaat, melainkan kondisi batin yang teralihkan sepenuhnya pada hal-hal yang bersifat sementara sehingga menjauh dari makna hidup yang hakiki. Ketika linimasa dipenuhi konten yang memancing emosi, tawa, atau keinginan duniawi, hati (qalb) yang seharusnya menjadi sumber ketenangan spiritual justru dipenuhi kegelisahan. Ia dijejali arus informasi dangkal yang tak memiliki nilai sejati, hanya menstimulasi syahwat visual dan mental, menguatkan nafs ammarah yang condong pada dorongan rendah. Perlahan, ketenangan batin (itmi’nan) yang seharusnya dicapai melalui dzikir, kontemplasi, dan hubungan mendalam dengan Allah, tergeser oleh rasa kosong, keresahan, dan ketidakpuasan yang tak pernah selesai.
Al-Qur’an menegaskan hakikat kehidupan dunia yang bersifat sementara dan menipu. “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, saling berbangga di antara kalian, dan berlomba dalam kekayaan serta keturunan…” (QS. Al-Hadid: 20). Pesan ini sangat relevan dengan fenomena media sosial saat ini, di mana banyak orang sibuk menampilkan citra sempurna, membandingkan diri dengan pencapaian orang lain, dan mengejar pengakuan virtual sebagai tolok ukur nilai diri. Algoritma yang mengendalikan platform digital justru memperkuat nafs ammarah, yaitu bagian jiwa yang terikat pada dorongan rendah seperti kesenangan tanpa batas, rasa tidak puas, dan kecenderungan untuk pamer. Akibatnya, hati yang seharusnya menjadi sumber ketenangan spiritual malah dipenuhi kegelisahan, rasa kosong, dan kelalaian dari tujuan hakiki kehidupan.
Jika dilihat lebih dalam, kecanduan media sosial tidak hanya menjadi persoalan psikologis, tetapi juga menunjukkan krisis pada sisi spiritual. Ketika seseorang mulai menakar nilai dirinya dari jumlah pengikut atau banyaknya tanda suka, ia telah terperangkap dalam ‘ujub, yakni rasa bangga dan kagum pada diri sendiri, yang secara halus dapat menumbuhkan kesombongan. Saat ia terus-menerus membandingkan kehidupannya dengan orang lain (social comparison), muncul kegelisahan dan keraguan terhadap harga dirinya. Dan ketika lebih banyak waktu dihabiskan untuk berselancar di dunia maya daripada mengingat Allah, ia telah terseret ke dalam lahwul hadits, kesibukan yang sia-sia yang mengalihkan hati dari makna hidup yang sejati.
Dengan demikian, perspektif psikologi modern dan psikologi Islam saling melengkapi. Psikologi modern mengungkap bagaimana algoritma mendominasi perhatian, membajak jalur dopamin, dan memicu polarisasi sosial. Psikologi Islam menambahkan dimensi yang bermakna: kerusakannya tidak hanya pada otak dan emosi, tetapi juga pada cahaya batin dan erosi kesadaran spiritual. Pada titik ini, kita melihat ironi besar media sosial: ia memberi kita ilusi keterhubungan, tetapi merampas kedamaian batin yang sungguh kita dambakan.
Lalu, bagaimana seharusnya kita merespons? Dalam pendekatan psikologi kontemporer, salah satu langkah yang disarankan untuk meredam dampak negatif media sosial adalah melakukan detoks digital (digital detox), yaitu berhenti sementara dari penggunaan perangkat digital maupun platform media sosial. Jeda ini membantu otak memulihkan kemampuan konsentrasi, mengurangi kelelahan mental, serta memutus kebiasaan adiktif yang dipicu oleh algoritma. Selain itu, psikologi modern juga menekankan pentingnya latihan mindfulness, yakni kesadaran penuh terhadap momen saat ini. Dengan membiasakan diri hadir sepenuhnya tanpa terjebak distraksi notifikasi atau arus informasi, seseorang dapat mengenali pikiran dan perasaan secara lebih jernih, sehingga lebih tenang dan tidak mudah terpengaruh oleh stimulus berlebihan dari dunia digital.
Islam melengkapinya dengan muraqabah digital, kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi aktivitas daring kita. Praktik pengendalian diri, atau riyadhah al-nafs, merupakan bentuk mujahadah modern, sebuah upaya untuk melawan hasrat yang didorong oleh teknologi. Sementara itu, dzikir adalah bentuk mindfulness yang lebih tinggi, yang tidak hanya menenangkan pikiran tetapi juga menyegarkan hati.
Pada akhirnya, isu utamanya bukanlah apakah algoritma itu baik atau buruk. Yang lebih penting adalah apakah kita sadar bahwa kita dibimbing olehnya. Algoritma hanyalah alat yang bekerja sesuai rancangannya. Jika kita membiarkannya begitu saja, ia akan membentuk kita menjadi konsumen yang impulsif dan tak pernah puas. Namun, jika kita menggunakannya dengan kesadaran, niat yang benar, dan hati yang murni, media sosial dapat menjadi sarana yang bermanfaat untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, menyebarkan nilai-nilai dakwah, dan menjalin persahabatan yang sehat.
Algoritma mungkin dapat mengendalikan perhatian, tetapi keputusan untuk menjaga hati tetap jernih dan terhubung dengan makna hidup yang sejati tetap berada di tangan kita. Tantangan terbesar bagi generasi digital bukan hanya menghindari kecanduan layar, tetapi juga membebaskan jiwa dari kelalaian yang dibawa oleh lautan informasi yang tak berujung.
_____________
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara, Dosen STAI Raudhatul Akmal, Kepala Penjamin Mutu Ponpes Darul Adib, dan Pimpinan Rumah Tahfizh Al-Munif Medan.