Toxic: Racun Berbahaya dalam Relasi Sosial

Redaksi Dalto Media
Sabtu, 23 Agustus 2025 | 16:50 WIB Last Updated 2025-08-23T09:50:26Z
Foto: Andri Saputra Lubis, M.Psi

OPINI - Belakangan, istilah toxic semakin akrab di telinga masyarakat. Secara umum, kata ini merujuk pada segala bentuk perilaku atau suasana yang berfungsi layaknya racun, menggerogoti ketenangan jiwa, menguras energi emosional, dan menimbulkan tekanan psikologis. Kondisi ini sering dipahami sebagai perasaan lelah secara mental akibat berhubungan dengan individu atau lingkungan tertentu. 

Dalam bentuk personal, toxic tampak pada sikap yang menyakiti, penuh manipulasi, merendahkan martabat orang lain, hingga menyebarkan energi negatif. Sementara itu, dalam lingkup sosial, toxic bisa hadir di keluarga, pertemanan, bahkan tempat kerja, ketika interaksi dipenuhi intrik, tekanan, dan rasa tidak aman. Kedua aspek ini biasanya saling memengaruhi: pribadi yang toxic kerap menumbuhkan lingkungan yang toxic, dan lingkungan yang sudah tercemar dapat melahirkan individu dengan kecenderungan serupa.

Fenomena toxic dapat hadir dalam beragam bentuk. Dalam lingkup pertemanan, ia sering terlihat pada relasi yang penuh iri, saling menjatuhkan, atau hanya muncul ketika ada kepentingan, yang dikenal sebagai toxic friendship. Di ranah keluarga, muncul pola asuh tidak sehat atau toxic parenting, ketika orang tua terlalu mengekang, meremehkan perasaan anak, atau mendidik dengan kekerasan emosional, yang akhirnya meninggalkan luka batin mendalam. 

Dalam hubungan pasangan, toxic relationship kerap ditandai dengan kecemburuan berlebihan, manipulasi emosional, hingga kekerasan verbal maupun fisik, yang membuat salah satu pihak kehilangan rasa aman dan kepercayaan diri. Di dunia kerja, toxic workplace juga menjadi isu serius, di mana budaya kompetisi tidak sehat, gaya kepemimpinan yang menekan, dan intrik antar rekan justru menimbulkan stres berkepanjangan. Bahkan, ada pula bentuk toxic positivity, yakni dorongan untuk selalu tampak kuat dan bahagia, padahal sebenarnya sedang terluka, sehingga ruang untuk mengakui rasa sakit dan mencari pertolongan justru tertutup.

Psikologi modern mencoba menjelaskan fenomena ini melalui sejumlah konsep. Salah satunya adalah Dark Triad, istilah yang digunakan untuk menggambarkan tiga sisi kepribadian berbahaya: narsisme, manipulasi, dan psikopati. Individu dengan kecenderungan ini sering kali menguras energi emosional orang-orang di sekitarnya, membangun relasi yang timpang, dan memicu ketidakstabilan psikologis. Dari sisi lingkungan, istilah toxic workplace juga semakin banyak disorot. Riset American Psychological Association tahun 2023 menunjukkan hampir satu dari lima pekerja di Amerika Serikat merasa lingkungannya tidak sehat secara psikologis. Tekanan itu berdampak pada stres, burnout, bahkan menurunkan kualitas kesehatan mental secara umum.

Dalam perspektif Islam, istilah toxic sebenarnya sudah lama dikenal dengan bahasa yang berbeda. Al-Qur’an kerap menyinggung tentang fasad, yakni kerusakan yang lahir dari sikap manusia, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa seorang muslim sejati adalah mereka yang membuat orang lain merasa aman dari lisannya dan perbuatannya. Dengan kata lain, perilaku toxic adalah bentuk nyata dari fasad an-nafs (kerusakan jiwa), yang kemudian menjalar ke lingkungan sekitar.

Psikologi Islam menawarkan pendekatan berbeda dalam memahami akar masalah ini. Salah satunya adalah konsep tazkiyatun nafs, atau proses penyucian jiwa dari penyakit batin seperti iri, dengki, sombong, dan dendam. Jiwa yang dibiarkan kotor cenderung melahirkan perilaku merusak, sementara jiwa yang senantiasa disucikan akan memancarkan ketenangan dan kebaikan. Karena itu, dibutuhkan mujahadatun nafs, usaha sungguh-sungguh untuk melawan dorongan negatif dari dalam diri agar tidak menjelma menjadi perilaku toxic.

Selain itu, konsep qalbun salim (hati yang sehat) juga menjadi landasan penting. Menurut Malik Badri sebagai seorang psikolog muslim, kesehatan mental sejati tidak hanya diukur dari bebasnya seseorang dari gejala gangguan psikologis, tetapi juga dari hati yang bersih, ikhlas, dan bebas dari penyakit spiritual. Hati yang sakit akan memunculkan perilaku destruktif, baik pada level personal maupun sosial. Dengan demikian, toxic bisa dipandang sebagai cerminan hati yang tidak sehat.

Dalam pandangan Islam, manusia tidak hanya dipahami sebagai makhluk sosial, tetapi juga sebagai makhluk spiritual. Artinya, setiap perilaku yang kita lakukan bukan saja berdampak pada hubungan dengan sesama, melainkan juga berpengaruh terhadap kedekatan kita dengan Allah. Ketika seseorang bersikap toxic terhadap lingkungannya, pada hakikatnya ia sedang menjauhkan diri dari rahmat dan kasih sayang-Nya. Islam sendiri mengajarkan agar manusia menjadi rahmat bagi seluruh alam, sehingga bila belum mampu menghadirkan manfaat, setidaknya jangan sampai berubah menjadi pribadi yang justru menebarkan pengaruh buruk dan meracuni orang di sekitarnya.

Jika dipadukan dengan perspektif modern, kita mendapat gambaran yang lebih utuh. Psikologi Barat memberi perangkat praktis untuk mengenali, menganalisis, dan menangani perilaku toxic, misalnya lewat terapi kognitif atau konseling relasi. Sementara itu, psikologi Islam memberikan pondasi spiritual: menjaga kebersihan hati, mengendalikan ucapan, dan menumbuhkan interaksi yang penuh kasih sayang.

Melepaskan diri dari jeratan perilaku toxic bukan sekadar langkah menjaga kesehatan mental, tetapi juga usaha membersihkan jiwa. Toxic bukan hanya soal hubungan sosial yang rapuh, tetapi juga persoalan spiritual yang lebih dalam. Jalan keluarnya adalah kembali kepada hati yang bersih, pikiran yang jernih, dan hubungan antarmanusia yang menumbuhkan kebaikan.

Oleh : Andri Saputra Lubis, M.Psi

___________

Penulis adalah mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara, Dosen STAI Raudhatul Akmal, Penjaminan Mutu Ponpes Darul Adib Medan, dan Pimpinan Rumah Tahfizh Al-Munif.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Toxic: Racun Berbahaya dalam Relasi Sosial

Trending Now

Iklan