Kesombongan: Luka Batin yang Merusak Tatanan Jiwa

Redaksi Dalto Media
Jumat, 15 Agustus 2025 | 23:46 WIB Last Updated 2025-08-15T16:46:39Z

Foto: Andri Saputra Lubis, M.Psi

OPINI - Kesombongan merupakan salah satu penyakit batin yang keberadaannya sering kali tidak disadari oleh penderitanya. Dalam tradisi tasawuf, ia termasuk ke dalam amradh al-qulub (penyakit hati) yang sangat berbahaya, karena bisa menghapus nilai amal sekaligus menutup pintu hidayah.

Rasulullah SAW telah memberikan peringatan keras melalui sabdanya: “Tidak akan masuk surga seseorang yang di hatinya terdapat kesombongan walau sebesar biji sawi” (HR. Muslim). Dalam penjelasan beliau, kesombongan adalah sikap menolak kebenaran dan merendahkan orang lain, sebuah masalah yang berakar di hati, bukan sekadar perilaku luar.

Ulama tasawuf menguraikan fenomena ini dengan sangat mendalam. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebut bahwa kesombongan bisa muncul karena berbagai hal: kelebihan ilmu, intensitas ibadah, keturunan terpandang, kekayaan, kekuatan fisik, jabatan atau status sosial. Dari semua sumber itu, yang paling berbahaya adalah i‘jab bin nafs, perasaan kagum berlebihan pada diri sendiri hingga merasa tidak memerlukan nasihat.

Ibn ‘Athaillah al-Sakandari dalam kitabnya al-Hikam mengingatkan bahwa kepuasan terhadap amal yang telah dilakukan menjadi tanda tertutupnya hati dari cahaya Allah. Jalaluddin Rumi bahkan menyebut kesombongan sebagai “busana Iblis” yang membuat telinga tertutup dari nasihat.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah menegaskan, sifat ini adalah pintu masuk syetan, dan jalan keluarnya adalah dengan merendahkan hati serta mengingat kelemahan diri di hadapan Sang Pencipta.

Dalam sudut pandang psikologi modern, perilaku yang serupa dengan kesombongan banyak dijelaskan melalui teori ilmiah. Alfred Adler memperkenalkan istilah superiority complex, yaitu kecenderungan untuk menampilkan diri lebih unggul sebagai mekanisme menutupi rasa rendah diri.

Psikologi kepribadian juga mengenal sifat narsistik, rasa penting diri yang berlebihan, pencarian validasi terus-menerus, serta rendahnya empati pada orang lain. Dalam ranah psikologi sosial, perilaku ini dapat berkembang menjadi hubris syndrome, yaitu kondisi psikologis yang kerap muncul pada orang dengan kekuasaan besar, ditandai keyakinan berlebihan pada kemampuannya, pengabaian masukan, serta keputusan yang sembrono.

Dari perspektif kognitif, kesombongan memicu cognitive rigidity atau kekakuan berpikir, yang membuat seseorang menutup diri dari ide baru dan pada akhirnya menghambat perkembangan pribadi.

Perkembangan teknologi menambah dimensi baru pada masalah ini. Media sosial yang awalnya dimaksudkan sebagai sarana berbagi informasi dan mempererat hubungan, kini sering menjadi panggung pamer pencapaian, kekayaan, bahkan ibadah. Hal ini melahirkan bentuk kesombongan yang lebih halus: Kesombongan Digital, di mana pengakuan diukur dari jumlah likes, komentar, atau jumlah pengikut.

Dalam psikologi, hal ini terkait dengan konsep impression management, yaitu upaya membentuk citra diri demi mendapatkan pengakuan publik. Dari sisi tasawuf, fenomena ini merupakan ujian berat bagi keikhlasan, sebab amal yang seharusnya murni untuk Allah bisa kehilangan nilainya jika niatnya bergeser menjadi konsumsi publik.

Pujian yang datang berulang di dunia maya dapat memperkuat i‘jab bin nafs, membuat seseorang semakin terjebak dalam lingkaran kesombongan yang diberi makan oleh validasi digital.

Baik psikologi Islam maupun psikologi modern sama-sama melihat bahwa inti kesombongan adalah termasuk yang tumbuh di ruang maya, berasal dari dorongan ego untuk merasa lebih unggul dari orang lain. Bedanya, psikologi Islam memandangnya sebagai penyakit hati yang menghalangi hubungan dengan Allah, sementara psikologi modern menilai sebagai distorsi kepribadian yang merusak relasi sosial dan menghambat perkembangan diri. Kesamaan perspektif ini menunjukkan bahwa kesombongan bukan hanya masalah spiritual, tetapi juga masalah mental.

Mengatasi masalah ini membutuhkan langkah yang terpadu. Psikologi Islam menawarkan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dengan memperbanyak dzikir, mengingat kematian, dan bergaul dengan orang yang rendah hati (tawadhu’). Psikologi modern menyarankan cognitive restructuring untuk mengubah pola pikir yang keliru atau tidak adaptif menjadi pola berpikir yang lebih sehat dan realistis, membiasakan empati dengan perspective-taking, yaitu melihat suatu situasi dari sudut pandang orang lain, serta mengembangkan growth mindset agar terbuka pada perbaikan diri.

Dalam konteks digital, langkah ini berarti menahan dorongan untuk memamerkan pencapaian dan mengalihkan fokus pada manfaat yang bisa diberikan, bukan sekadar tampilan yang memikat.

Kesombongan adalah racun halus yang sering datang bersama sanjungan. Ia pernah menjerumuskan Iblis dari kedudukannya yang mulia, menjatuhkan Fir’aun dari tahtanya, dan kini bisa menyelinap melalui layar ponsel yang kita genggam setiap hari. Kerendahan hati menjadi penawar yang paling efektif, bukan hanya sebagai etika sosial, tetapi sebagai kebutuhan spiritual dan psikologis untuk menjaga kejernihan hati, keluwesan pikiran, dan kesehatan jiwa di tengah derasnya arus informasi dan godaan dunia maya.

Hakikatnya, kesombongan bukan hanya perilaku yang terlihat, melainkan racun halus yang perlahan mengikis kesucian jiwa, menjauhkan manusia dari limpahan rahmat Ilahi, serta menghalangi perjalanan menuju kesempurnaan hidup. Dalam arus deras dunia digital yang dipenuhi sorotan dan godaan pengakuan instan, menjaga hati tetap teduh dalam pelukan kerendahan menjadi ujian yang kian menantang. 

Setiap bentuk pujian, sanjungan, atau apresiasi sejatinya hanyalah ujian untuk mengukur kemurnian niat dan kejernihan hati. Pada hakikatnya, manusia tidak memiliki alasan sedikit pun untuk menyombongkan diri, sebab seluruh anugerah yang dimiliki hanyalah titipan dari Allah, yang dapat Dia ambil kapan saja sesuai kehendak-Nya. 

Oleh karena itu, kerendahan hati bukan semata-mata perhiasan akhlak, melainkan kebutuhan mendesak bagi rohani dan psikologi agar terhindar dari jebakan ilusi kehebatan yang menipu. Menjernihkan hati dari rasa lebih tinggi dibandingkan sesama merupakan benteng kuat yang memelihara kebeningan ruhani, menghadirkan kedamaian batin, dan menjaga keharmonisan dalam hubungan antarmanusia.

Oleh : Andri Saputra Lubis, M.Psi

Penulis adalah mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara, Dosen STAI Raudhatul Akmal, Penjaminan Mutu Ponpes Darul Adib Medan, dan Pimpinan Rumah Tahfizh Al-Munif.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kesombongan: Luka Batin yang Merusak Tatanan Jiwa

Trending Now

Iklan