![]() |
Foto: Andri Saputra Lubis, M.Psi |
OPINI - Di era digital yang serba cepat ini, wajah keberagamaan masyarakat tampil penuh kontradiksi. Di satu sisi, simbol-simbol religius semakin mudah ditemukan: masjid dan mushalla ramai, busana syar’i kian populer, dan media sosial dipenuhi dakwah dalam berbagai format. Namun di sisi lain, kita tetap disuguhi kenyataan pahit: korupsi masih merajalela, intoleransi terus muncul, kekerasan sosial sulit dihindari, dan gaya hidup konsumtif makin menancap di generasi muda. Fenomena ini memperlihatkan adanya jurang antara penampilan luar yang religius dengan kesadaran beragama yang sebenarnya.
Dalam ranah psikologi modern, kesadaran beragama (religious consciousness) dipahami sebagai proses mental dan emosional yang mengintegrasikan pengetahuan, keyakinan, dan perilaku. Gordon Allport, misalnya, membedakan dua orientasi religius: intrinsik dan ekstrinsik. Orientasi intrinsik lahir dari iman yang sungguh-sungguh, di mana agama menjadi pedoman hidup yang konsisten. Sementara orientasi ekstrinsik menjadikan agama sekadar sarana sosial, identitas, atau formalitas. Pemahaman ini menegaskan bahwa agama hanya bermakna bila benar-benar hidup dalam diri, bukan hanya ditampilkan dalam simbol.
Dalam perspektif psikologi Islam, pandangan tentang manusia berakar pada ajaran Al-Qur’an yang menegaskan bahwa setiap individu diciptakan dalam kondisi fitrah, yaitu keadaan bawaan yang suci dan cenderung kepada kebaikan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi dasar untuk berkembang ke arah yang positif apabila diarahkan dengan benar. Namun, manusia juga dibekali hawa nafsu yang dapat menjadi penghalang dalam mencapai kesempurnaan diri. Oleh karena itu, diperlukan pengendalian diri agar fitrah yang suci tersebut tetap terjaga.
Selain itu, Al-Qur’an memberikan pemahaman bahwa manusia dikaruniai akal sebagai sarana berpikir dan membedakan yang benar dari yang salah. Akal ini harus dioptimalkan untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah dan mengambil hikmah dari setiap peristiwa kehidupan (QS. Al-Baqarah: 164). Sementara itu, hati atau qalb menjadi pusat spiritual yang menentukan kualitas keimanan seseorang. Bila hati bersih, maka seluruh perilaku akan tercermin dalam kebaikan, tetapi bila hati rusak, perilaku pun cenderung menyimpang (QS. Asy-Syu’ara: 88-89).
Lebih jauh, Al-Qur’an juga menegaskan peran jiwa (nafs) yang memiliki lapisan-lapisan berbeda. Ada nafs ammarah (jiwa yang cenderung mendorong pada keburukan), nafs lawwamah (jiwa yang menyesali kesalahan dan berusaha memperbaiki diri), serta nafs muthmainnah (jiwa yang tenang karena dekat dengan Allah) (QS. Yusuf: 53; QS. Al-Fajr: 27-30). Konsep ini memberikan gambaran bahwa perkembangan psikologis manusia bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh sejauh mana ia mampu mengendalikan nafsu serta mendekatkan diri kepada Allah.
Dengan demikian, psikologi Islam tidak hanya menekankan aspek kognitif dan perilaku sebagaimana dalam psikologi modern, tetapi juga menyatukan dimensi spiritual, moral, dan transendental. Manusia dipandang sebagai makhluk holistik yang mencakup jasmani, akal, hati, dan jiwa, yang semuanya harus diarahkan agar selaras dengan nilai-nilai Ilahi.
Fenomena sosial saat ini memperlihatkan wajah kesadaran beragama yang kompleks. Maraknya tren religius kerap berjalan seiring dengan ironi: simbol agama kian menonjol, tetapi kasus penyalahgunaan wewenang, praktik koruptif, dan konflik bernuansa keagamaan tetap tinggi. Survei juga menunjukkan bahwa sebagian anak muda aktif mengikuti kajian agama, tetapi tidak sedikit yang terjebak dalam perilaku destruktif seperti judi online atau penyalahgunaan narkoba. Sementara itu, media sosial melahirkan tren baru: dari satu sisi mempercepat akses pada konten keagamaan, namun di sisi lain juga menjadi ruang penyebaran hoax, ujaran kebencian, bahkan justifikasi radikalisme dengan bungkus agama.
Rendahnya kesadaran beragama terbukti membawa konsekuensi serius. Korupsi, kezaliman, dan berbagai tindak kriminal pada hakikatnya merupakan manifestasi dari lemahnya internalisasi nilai agama. Agama yang seharusnya menjadi benteng moral dan pengendali diri, justru berhenti pada tataran simbol ketika tidak dihayati secara mendalam. Psikologi modern menjelaskan fenomena ini dengan konsep moral disengagement dari Albert Bandura, yakni mekanisme kognitif yang membuat seseorang merasa “benar” sekalipun sedang berbuat salah. Sedangkan dalam psikologi Islam, Al-Ghazali menyinggungnya dengan istilah qalb maridh (hati yang sakit), yaitu kondisi ketika hati kehilangan cahaya iman, sehingga hawa nafsu mengambil alih perilaku manusia. Ibn Qayyim al-Jawziyyah bahkan menegaskan bahwa hati yang jauh dari iman akan menjerumuskan manusia pada syahwat dan amarah, yang melahirkan tindakan zalim dan merusak.
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik merupakan contoh nyata. Meski tampil dengan citra religius, mereka gagal menjadikan nilai agama sebagai panduan etis dalam kebijakan. Begitu pula dengan merebaknya kejahatan jalanan, kekerasan rumah tangga, dan kriminalitas di masyarakat, semuanya memperlihatkan minimnya kesadaran religius. Fenomena ini menegaskan bahwa kejahatan tidak bisa hanya dilihat dari faktor ekonomi atau tekanan sosial, tetapi juga dari lemahnya spiritualitas individu.
Maka, membangun kesadaran beragama yang sejati menjadi kebutuhan mendesak. Pendidikan agama tidak cukup berhenti pada penguasaan materi kognitif atau hafalan teks, melainkan harus mendorong pemahaman nilai, refleksi spiritual, dan konsistensi amal nyata. Ritual ibadah seharusnya melahirkan kejujuran, tanggung jawab, kepedulian, dan sikap adil dalam interaksi sosial. Tanpa itu, agama berisiko direduksi menjadi identitas kosong yang tidak memberi dampak transformatif.
Kesadaran beragama yang mendalam, bila terwujud, akan menjadi fondasi kokoh bagi kesehatan mental individu sekaligus pembangunan sosial. Ia membentuk pribadi yang tangguh menghadapi krisis, memberi makna hidup, dan menumbuhkan solidaritas. Pada level masyarakat, ia menjadi perekat sosial yang mencegah disintegrasi dan melahirkan peradaban yang adil dan berkeadaban. Dengan kata lain, kesadaran beragama bukan hanya urusan ibadah personal, melainkan energi moral yang menentukan arah masa depan bangsa.
Oleh: Andri Saputra Lubis, M.Psi
_____________
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara, Dosen STAI Raudhatul Akmal, Kepala Penjamin Mutu Ponpes Darul Adib, dan Pimpinan Rumah Tahfizh Al-Munif Medan.